Sudah
hampir satu tahun lebih tinggal sendiri di Yang pusat Ibu Kota Republik ini.
Tidak benar-benar sendiri, namun kadang terasa amat sepi. Setiap malam aku
pulang ke kamar kosku, yang hanya diperuntukkan untuk diriku sendiri. Apalagi,
saat bulan Ramadhan seperti ini. Bangun untuk sahur, menunggu imsyak dan sholat
subuh, sampai nanti berbuka puasa, suasananya amat berbeda dari yang biasa ku
rasakan sejak belasan tahun lalu. Ini adalah puasa pertamaku jauh dari rumah.
Dulu,
selalu ada mama yang membangunkan dan menyiapkan sahur, aku hanya perlu sedikit
membantu. Ada papa yang akan menemani sholat subuh. Ada lengkap aku, papa, dan
mbak mas untuk bantu-bantu mama jualan hidangan berbuka di rumah. Sesaat
setelah adzan, toko mama akan segera tutup dan kami melanjutkan berbuka dan
sholat maghrib bersama. Lalu kami akan setia menonton serial “Para Pencari
Tuhan” yang ntah sudah berapa jilid kami ikuti. Adzan isya’ berkumandang, kami
segera berangkat ke Masjid Ad-Da’wah dekat rumah kami. Kami sholat isya, tarawih,
sampai witir, lalu kembali pulang, istirahat, dan akan mengulanginya esok pagi.
Sekarang?
Aku melakukan setiap detail berpuasa ini sendiri. Apalagi sahur, hahaha. Beli
lauk sendiri, masak nasi sendiri, menunggu subuh sambil berdoa sendiri. Mungkin
hanya ketika berbuka bisa bersama-sama teman untuk merayakan berhasilnya kita
menahan nafsu seharian. Rasanya? Beda. Amat sangat beda. Puasa pertama di pusat
Jakarta sendiri ini.. akan jadi pelajaran untukku. Benar-benar mengajarkanku
untuk mandiri, kuat, dan terus mengingat Allah saat diri ini mulai sedih,
merasa sendiri, ataupun meragu.