Tepat setahun yang lalu, saya membaca informasi mengenai
pemilihan duta wisata di Sidoarjo. Dan saat ini, saya dan teman-teman sedang
bergerilya membagi informasi mengenai pemilihan Duta Wisata Guk dan Yuk
Sidoarjo 2016. Betapa cepatnya waktu berlalu semakin tidak masuk akal. Ohya,
kalau mau kepo-kepo dulu, gih buka instagram @gukyuksidoarjo ini.
--
Setiap daerah di Indonesia memiliki sepasang duta wisatanya
yang berada di bawah wewenang Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di
Kota/Kabupatennya dan Provinsinya. Saya, yang berdomisili di Kabupaten Sidoarjo
dan ber-KTP Sidoarjo sempat tahun lalu iseng-iseng (iya, saya tidak punya kata
yang lebih tepat dan jujur selain ini) mendaftar dan mengikuti serangkaian
proses pemilihan duta wisata di Kabupaten Sidoarjo. Buat kalian yang belum
tahu, Sidoarjo adalah sebuah daerah di selatan Kota Surabaya, dengan penduduk
hampir dua juta jiwa, Sidoarjo juga merupakan daerah penyangga di Jawa Timur
dengan perkembangannya berbagai potensi daerahnya.
Hampir dua setengah tahun di bangku kuliah kuhabiskan
dengan fokus belajar, kegiatan himpunan, dan kompetisi akademik. Tidak pernah
terbesit niatan saya untuk mengikuti kompetisi seperti ini. Semuanya dimulai
karena kakak perempuan saya pada jamannya pernah mencoba mengikuti kompetisi
ini dan karena ala kadarnya juga perrsiapannya, dia tidak bisa lolos tahap
selanjutnya. Sesimpel dia mengingatkan saya “Dek, kalau ga salah bulan-bulan
ini deh dulu ada seleksi Guk Yuk”. Dan saya juga sesimpel itu menjawab iya dan
coba mencari informasinya di instagram dan twitter. Syaratnya simpel, domisili
asli Sidoarjo, berpenampilan menarik, tinggi dan berat badan proporsional, dan
berwawasan luas. Oke, berpenampilan menarik bisa lah ya. Tinggi dan berat badan
ga parah-parah banget lah ya. Berwawasan luas, ya lumayan lah ya. Namun, jujur,
saya lack of ideas tentang wisata di Sidoarjo.
Loh katanya domisili di sana?
Iya. Iya. Namun dari sekolah dasar sampai kuliah, sekolah
saya di Surabaya terus. Di tengah kota Surabaya sana. Pertemanan saya isinya
anak Surabaya semua. Jalan-jalan yang saya hafal ya Surabaya aja. Apalagi objek
wisatanya. Aduh.
Namun pikirku, itu bisa lah ya dipelajari. Masih ada
Google.
Singkat cerita aku memenuhi segala persyaratan pendaftaran
dan mengumpulkan berkasnya. Semua masih aman. Sehari sebelum tes tahap pertama,
ada technical meeting untuk peserta seleksi. Bahkan untuk TM-nya saja saya tidak
bisa dating karena ada kuliah di Jumat siang. Esok harinya, saat hari pertama
tes seleksi, saya menuju ke lokasi seleksi saja terus-terusan mantengin Google
Maps. Saya buta akan jalan di Sidoarjo. Beneran deh. Tes tulis, saya jawab
sebisanya mengenai pengetahuan wisata di Sidoarjo berbekalkan ingatan hasil
browsing saya. Untung banyak soal-soal yang menguji Bahasa Inggris, sangat amat
membantu. Tes wawancara berjalan cukup baik-baik saja. Wawancara kepribadian,
organisasi, Bahasa Inggris, aman. Wawancara mengenai wisata, lagi-lagi, apa
adanya.
Selang seminggu, ternyata nama saya tertera di koran bahwa
saya lolos 20 besar. Baiklah, ayo diperjuangkan. Tes tahap dua yang berselang
seminggu adalah tes bakat, presentasi ide untuk memajukan wisata lokal, dan
interview, lagi. Saya dulu penari tradisional. Dulu. Jaman TK sampai SMP. Jaman
SD kerjaan saya tiap minggu latihan nari, dan berjejer-jejer piala lomba tari
tradisional. Namun, semenjak stress SMA dan kuliah, boro-boro kepikiran nari.
Jadi ya, saya manfaatkan bakat yang sudah kembali terpendam itu dengan latihan
cukup intens tiga hari sebelum tes. Latihan intens macam apa cuma tiga hari.
Saya mengontak guru tari saya jaman dahulu, dan beberapa hari itu, setiap sore
pulang kuliah, saya belajar lagi satu tarian tradisional asli Sidoarjo yang
baru buat saya.
Singkat cerita, tes tahap dua berjalan cukup lancer. Juri
nampak puas dengan tarian saya, sehingga saya full harus menari sampai waktu
habis. Padahal, beberapa semifinalis lain diberhentikan ditengah-tengah unjuk
bakat dan diminta menunjukkan bakat lain. Untung saya tidak kena, bakat apalagi
yang mau saya tunjukkan. Bisa-bisa saya malah pidato kesetaraan gender. Seleksi
tahap dua cukup melelahkan. Setelah proses penilaian, saya lolos menjadi
finalis sepuluh besar. Baiklah, bukan waktunya bermain-main lagi.
Ini merupakan kesempatan yang amat bagi saya. Wajah-wajah
asing yang saya sama sekali tidak ada yang kenal. Padahal setiap dari peserta
lain ada saja kenal, teman SD, SMP, atau SMA lah. Nah saya, tidak kenal
siapa-siapa. Segala hal-hal baru, pakai heels minimal 10 cm, pakai bulu mata,
jujur, geli banget. Bahkan kalau saya bisa mengamandemen peraturan paguyuban,
saya mau menanggalkan kewajiban memakai bulu mata. Tolong.
Dengan kesempatan menjadi finalis, saya harus mengikuti
karantina dan deretan kegiatan sebelum malam final. Dalam waktu satu minggu
segala kegiatan pra-final, itu adalah jadwal Ujian Tengah Semester 5 saya di
kampus. Semester lima itu cukup menegangkan. Sangat bahkan. Full 24 sks dengan
mata kuliah yang bukan main-main sama sekali. Delapan mata kuliah. Semuanya 3
sks. Dan saya tidak ingin nilai saya turun, atau bahkan tidak bisa ujian,
karena bentrok dengan kegiatan ini.
Dengan segala teknik negosiasi dan merasionalkan pola pikir
panitia, selama karantina, saya hampir lima kali meninggalkan sesi karena
ujian. Saya dikarantina di Sidoarjo kota, saya ujian di kampus di tengah
Surabaya. Ada 40 km. Kurang lebih 1,5 jam untuk mencapainya. Hari-hari
karantina itu masuk kategori hari-hari terlelah dalam hidup saya. Sekitar lima
hari, saya harus pagi-pagi siap dengan segala dresscode lengkap dengan full
make-up dan bulu matanya. Disclaimer, pada saat itu make-up kit saya mentok
cuma pelembab, bedak, lipstick, mascara. Dan setiap pagi harus full make-up dan
heels 10 cm itu, membunuh. Belum segala tugas, hafalan tarian, dan tata acara
untuk mempersiapkan malam final. Belum harus belajar untuk UTS. Belum kesana
kemari mengejar jadwal UTS dan juga harus kembali ke karantina. Belum drama
dalam proses karantina. Sungguh, saya lelah sekali saat itu. Setiap hari hanya
tidur tiga jam. Saya saja sampai lelah kalau disuruh mengeluh.
Tapi ya, hari-hari mengerikan itu juga berlalu. Sampai di
hari Final Seleksi Duta Wisata Guk dan Yuk Sidoarjo 2015, tanggal 30 Oktober
2015. Saya ya, bahkan paginya saat gladi resik, telat 2 jam, karena harus ujian
Akuntansi Perpajakan dulu di kampus. Luar biasa ngawurnya saya. Jadi
bulan-bulanan panitia karena saya cabutan sudah tidak saya pedulikan. Karena
ya, prinsip saya kuliah masih nomer satu. Tidak mungkin saya tinggalkan UTS
saya.
Malam itu, saya sudah didandani dengan baju adat khas
Sidoarjo. Saya sudah terus-terusan menggandeng pasangan saya. Saya sudah diarak
keliling Sidoarjo. Saya sudah siap menyelesaikan proses ini. Saya sempat
terdiam dan berpikir, saya yang awalnya tidak ada niatan sama sekali, saya
mempersiapkan ala kadarnya, namun dengan usaha dan keberuntungan, saya ternyata
sampai di posisi ini. Sampai sini saja cukup, pikirku. Saking lelahnya. Namun
ya, itu bukan Della. Lagipula, dengan saya berada menjadi salah satu finalis,
mungkin saja di luar sana ada beberapa orang yang mengharapkan posisi yang saya
miliki sekarang. Ya masak direlakan begitu saja?
Seluruh finalis yang lain dan segenap panitia adalah teman
dan keluarga pertama saya di Sidoarjo ini. Saya yang benar-benar baru untuk
mereka, dan mereka yang amat sangat baru untuk saya, telah menjadi bagian dari
proses hidup saya. Malam itu, dengan usaha dan doa, saya ini, Yuk Della, yang
ke Pendopo Delta Wibawa saja baru pertama kali ya saat final ini, ternyata saya
diberikan kesempatan menjadi Wakil 1 Yuk Sidoarjo 2015. Simpelnya, saya juara
dua untuk duta wisata yang perempuan. Alhamdulillah.
Meskipun saya awalnya hanya iseng. Namun, saya punya niat
baik. Saya setiap hari juga bangun dan tidur di Sidoarjo ini. Paling tidak, ya
tanah, air, dan udara Sidoarjo yang setiap hari saya rasakan manfaatnya. Masak
saya yang sudah memanfaatkannya 18 tahun ini, tidak berkontribusi apa-apa? Ya
mungkin ini jalan saya. Untuk menjadi salah satu duta wisata. Ini juga memaksa
saya untuk lebih mengenal lingkungan saya sendiri, apa salahnya punya banyak
teman baru? Tidak ada, banyak manfaatnya iya. Saya bersyukur, dari proses ini,
saya belajar banyak. Saya belajar bahwa memang usaha tidak akan mengkhianati.
Kalian di luar sana, regardless topik saya yang jadi duta
wisata, apapun target yang memang kamu tuliskan, kalau kamu benar-benar percaya
dan mau mengusahakannya sungguh-sungguh, pasti ada jalannya. Kalau memang
belum, mungkin doanya harus ditambah. Cuma satu hal yang biasa menggagalkan
kita, yaitu ketakutan untuk gagal. Coba dulu, kalau gagal, coba lagi. Kalau
memang tetap gagal, coba yang lain. Tidak ada sukses yang dating tiba-tiba
juga. Semuanya butuh usaha, dan doa.
Jadi ya kawan, semangat terus dalam mengusahakan
mimpi-mimpinya. Jangan mau kalah sama tantangan. Jangan patah semangat sebelum
berjuang. Hal-hal baik layak diperjuangkan. Be all in or get all out, there is
no halfway. Semangat!
Adelia
Budiarto
No comments
Post a Comment