Jakarta, 9 Maret 2018
Jakarta sedang mendung, cuacanya yang
sendu. Padahal aku dan teman-teman di kantor semangatnya membara mengejar
deadline pekerjaan. Mungkin hari ini kami bisa pulang cepat, mungkin bisa jam
sepuluh, atau sebelas malam? Lebih baik, bukan? Atau jika harus lebih malam
lagi pun tak apa, asal besok tidak harus lembur. Karena besok hari Sabtu. Mau
berapa weekend lagi yang dihabiskan di kantor?
|
Jika ini pertemuan pertamamu denganku,
kenalkan lagi, aku Della. Sejak kecil aku tinggal dan hidup di Surabaya, while
technically rumah saya di Sidoarjo, namun aktivitas sehari-hari saya sejak
sekolah dasar berpusat di kota Surabaya. Aku tinggal di rumah yang cukup besar
untuk kami berlima, aku, mama, papa dan kedua kakakku. Rumah ini cukup besar,
karena isinya bukan hanya rumah untuk tempat tinggal, orang tuaku memiliki
usaha kecil-kecilan di rumah ini. Aku lupa persisnya kapan aku mulai sadar
bahwa di rumahku banyak sekali barang-barang yang dijual untuk orang lain, yang
ku ingat adalah saat kecil aku selalu tidur siang di meja kasir milik mama. Aku
tahu mama tidak bisa menjagaku tidur siang di kamar, karena beliau harus
menjaga toko kelontong kecil milik kami, maka dari itu aku memilih untuk tidur
di sana sehingga beliau bisa menjaga keduanya, toko dan diriku.
Sejak dulu, rumahku selalu ramai didatangi orang lain setiap hari. Dulu ketika masih toko kelontong, orang-orang pasti membeli kebutuhan sehari-harinya di rumah kami, karena rumah kami dekat jalan utama dan mudah diakses. Ketika SD, aku ingat bahkan saking larisnya toko kecil ini, mama dan papa bermitra dengan Indogrosir. Jika kamu tahu apa itu Indogrosir di Surabaya, berarti kita masih seangkatan, haha. Pada saat aku masuk TK, toko kami yang dulunya kecil sekarang sudah seperti Indomaret pada jamannya. Isinya lengkap, ada ACnya, dan banyak sekali orang datang untuk membeli. Bahkan dulu setiap sore aku akan mengambil satu keranjang lalu mengambil satu per satu barang seolah berbelanja, aku ke meja kasir, pura-pura membayar, memasukkan mereka ke kantong plastik, lalu beberapa saat kemudian ku kembalikan lagi satu persatu ke tempatnya semula. Maklum, masih kecil. Saat itu rasanya aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya berbelanja bulanan, habis tidak ada kata 'belanja bulanan' di keluargaku karena selama ini rumah kami yang menyediakan kebutuhan bulanan tersebut.
Sejak dulu, rumahku selalu ramai didatangi orang lain setiap hari. Dulu ketika masih toko kelontong, orang-orang pasti membeli kebutuhan sehari-harinya di rumah kami, karena rumah kami dekat jalan utama dan mudah diakses. Ketika SD, aku ingat bahkan saking larisnya toko kecil ini, mama dan papa bermitra dengan Indogrosir. Jika kamu tahu apa itu Indogrosir di Surabaya, berarti kita masih seangkatan, haha. Pada saat aku masuk TK, toko kami yang dulunya kecil sekarang sudah seperti Indomaret pada jamannya. Isinya lengkap, ada ACnya, dan banyak sekali orang datang untuk membeli. Bahkan dulu setiap sore aku akan mengambil satu keranjang lalu mengambil satu per satu barang seolah berbelanja, aku ke meja kasir, pura-pura membayar, memasukkan mereka ke kantong plastik, lalu beberapa saat kemudian ku kembalikan lagi satu persatu ke tempatnya semula. Maklum, masih kecil. Saat itu rasanya aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya berbelanja bulanan, habis tidak ada kata 'belanja bulanan' di keluargaku karena selama ini rumah kami yang menyediakan kebutuhan bulanan tersebut.
Aku kembali teringat, di awal tahun
2000an, usaha kecil kami mulai menurun. Ini dikarenakan banyak supermarket
besar yang menawarkan sensasi belanja bulanan yang berbeda, you name it Giant,
Carrefour, Hypermart. Mulai lah keluargaku juga beradaptasi dengan berubahnya
jaman. Mama dan papa sudah tidak lagi bermitra dengan Indogrosir, you see they
collapse right. Aku lupa bagaimana tepatnya urutan “usaha” yang pernah ada di
rumah. Mulai dari toko kelontong, wartel, rental VCD, laundry, tetap ada toko kelontong, jual gas aqua dan
isi ulang, disewakan untuk jadi showroom mobil, jadi toko lagi, sampai akhirnya
kami move on ke: makanan. Makanan pun sangat variatif pergerakannya. Mulai dari
tempat jual kue basah yang dititipkan oleh tetangga-tetangga, jual kue dan
jajanan buatan sendiri, nasi dan makanan sehari-hari, sate, soto, dan entah
banyak lagi.
Yang selalu ku sadari, rumahku bukan
hanya milik kami berlima. Ini juga milik mbak mas yang bantu-bantu di rumah
sejak dulu, milik tetangga-tetangga kami yang setiap pagi beli nasi untuk
sarapan anaknya, milik mbak mas pekerja di kawasan pabrik SIER dekat rumah
kami, pun milik mereka yang juga merasakan manfaat “usaha” kami. Rumahku tidak
pernah sepi. Dalam setahun, hanya dua minggu rumah itu sepi, yaitu saat lebaran
dan kami sekeluarga pulang kampung. Selebihnya, rumah ini selalu ramai. Selalu
menawarkan kehangatan dan kebahagiaan.
--
--
Sekarang, aku sedang membereskan barang-barangku,
aku mau pulang. Bukan, bukan pulang ke rumah yang tadi kuceritakan. Aku mau
pulang ke kos-kosan-ku. Kos-kosan yang sduah jadi tempatku tinggal delapan
bulan ini di Jakarta. Jaraknya hanya sepuluh menit dari kantor. Aku biasa jalan
setiap hari, namun karena ini sudah malam, aku akan segera pesan gojek untuk
mengantarkanku pulang.
Sesungguhnya, tinggal di rumah kos
bukan hal yang baru untukku. Aku sudah punya kamar kos ku sendiri sejak SMA.
Meski SMA-ku ada di Surabaya, namun kalau kalian ingat bahwa aku adalah siswa
akselerasi, masa SMA-ku terasa begitu berat dan padat. Sehingga selama dua
tahun SMA, aku punya kamar kos di dekat kompleks SMA-ku. Saat kuliah pun sama,
karena aku terlalu muda dan belum diberi izin untuk berkendara sendiri, lagi-lagi
aku diberikan izin untuk punya kamar kos. Punya rumah jauh dari pusat kota dan
belum cukup dipercaya untuk bawa kendaraan sendiri ya memang begini. Akhirnya
aku menghabiskan weekdaysku saat kuliah di kos, dan selalu pulang ke rumah
setiap hari Jumat. Setidaknya ini berlangsung selama empat semester.
Saat ini, aku kembali punya kamar kos
di dekat tempatku beraktivitas sehari-hari, dekat kantor. Alasan aku punya
kamar kos saat ini pun sama, karena rumahku terlalu jauh untuk setiap hari
pulang-pergi. Rumahku di Surabaya, kantorku di Jakarta. Aku bukan sedang
menjadi manja atau cengeng karena jauh dari rumah, bukan. Ku hanya sedang
rindu.
Orang bilang bahwa saat muda ada
baiknya kita merantau, supaya belajar mandiri dan bertanggung jawab pada diri
sendiri. Yap, seratus untuk mereka. Perantauan ini menjadi kesempatan belajar
saya yang sangat berarti. Sebenarnya, bukan berarti aku belum pernah merantau.
Selain sudah di-kos-kan sejak SMA, aku juga sempat mengikuti program internship
di Jakarta selama tiga bulan sendirian, aku sudah pernah pergi ke luar negeri
untuk urusan kampus beberapa kali, bahkan sendirian pun pernah. Namun beda,
merantau kali ini berbeda.
Mungkin ini terasa berbeda karena
fokus urusannya, dulu jelas hanya delegasi kampus atau internship, saat ini
bekerja. Dulu jelas akan pulang kapan dari acara tersebut, jelas internshipnya
selesai kapan, saat ini tidak. Dulu bisa pulang ke rumah setiap weekend,
sekarang tidak ada escape plan. Jakarta ke Surabaya memang ga jauh, cuma satu
jam perjalanan udara, namun, ya tidak semudah itu. Saat ini berbeda, karena
semua tanggung jawab dan keputusannya ada di diriku sendiri. Awalnya semudah
ingin pulang atau ngga, meningkat jadi tiket mahal atau ngga ya, sampai
akhirnya sudah ingin pulang, tiket mahal juga gapapa, eh harus lembur di
weekend.
Sebenarnya lagi, ini bukan cerita
tentang diri saya marah-marah sama diri saya sendiri juga. Rencana awalnya,
cerita ini mau jadi pengingat, baik buat saya, atau kalian yang baca.
Kesibukanku bekerja sekarang memang sangat berbeda dengan masa kuliah dulu.
Semalam-malamnya pulang kuliah atau rapat organisasi, besoknya bisa kuliah
siangan dikit. Sekarang, mau semalam-malamnya (atau pagi) pulang lembur, jam
delapan pagi juga sudah jam masuk kerja lagi. Ngga separah itu juga sih haha,
dan ga kejadian setiap hari juga. Namun kadang-kadang lelah aja. Masih untung
aku senang dengan apa yang ku kerjakan, deep understanding and analysis, and
its challenging working environment memang yang saya cari, dan somehow saya
butuhkan. Ku senang setiap dua minggu sekali kerja dengan tim yang berbeda,
dengan atasan yang berbeda, dengan klien berbeda, dan masalah yang juga beda.
Belajarnya banyak sekali, which is in other side, risknya memang demikian
banyak loadnya.
Beruntungnya saya, keluarga dan
orang-orang terdekatku selalu mendukung. Karena mereka tahu, dan aku sadar,
bahwa yang ku kerjakan memang hal baik, halal, dan jadi tempat untuk belajar
banyak. Pada beberapa saat tertentu, justru dukungan, semangat, dan doa mereka
yang bikin saya sering berpikir. Bahwa sesungguhnya, on the top of all of this,
ujungnya kemana, sih? Saya mikir, kalau saya pekerjaan saya baik, saya sukses,
ini buat siapa sih? Iya buat diri saya, agar terus berkembang, terus untuk
siapa lagi? Iya untuk orang lain, untuk masyarakat nantinya ketika pekerjaan
yang saya lakukan bisa memberikan impact ke komunitas luar, which is emang
tujuan besar saya. Namun, siapa sih yang sebenarnya paling deserve untuk
merasakan hasil usaha saya, selain diri sendiri? Well, it goes to the little
family, mostly to mama dan papa.
Hidup jelas selalu memberikan kita
tantangan, kadang naik kadang turun, hari ini di atas besok bisa jungkir balik
di bawah. Ini karena Allah masih sayang sama kita, sama saya, makanya masih
memberikan ujian ke hambanya yang pasti, hambanya bisa lalui. Ketika hidup
sedang jungkir balik seenaknya sendiri, ternyata ya benar, memang mama papa dan
keluarga kecil ini yang selalu ada. Yang selalu menanyakan kabar. Yang selalu mendengarkan
cerita bahagia pun masalah yang sedang dilalui. Yang selalu menenangkan dan
membantu mencari solusi. Dan, ya memang siapa lagi yang harus saya expect buat
provide itu semua, kalau bukan mereka? Dan, apa iya saya sudah melakukan hal
yang sama ke mereka sebagaimana mereka memperhatikan saya? Well, it is the core
of problem.
Semenjak saya bekerja dan jauh dari
mama dan papa, kok saya merasa lebih acuh, ya. Saya sibuk dengan pekerjaan dan
urusan saya sendiri, dan saya expect mereka buat mengerti keadaan tersebut.
Saya constantly menghubungi mereka ketika sudah di kantor atau sudah sampai
kosan, karena itu SOPnya, dan hanya sebatas itu, “Aku udah di kosan ya, mau
istirahat”. Saya kadang terganggu ketika sedang serius lembur malam, papa
menelpon tanya kapan pulangnya, jangan terlalu malam, nanti naik apa dan
gimana, while saya juga maunya pulang sekarang cuma kan masih kerja papa
ngertiin dong. Saya beberapa kali sengaja tidak mengangkat telepon mereka
padahal sudah di kosan, karena simply capek dan mau tidur aja gamau diganggu.
Saya, gatau sudah dosa apalagi yang sudah saya perbuat ke papa dan mama. I
expect them to understand my stance too much, and they did it well. But I do
not realize if they beg the same expectation to me. Too bad, Della.
Hal ini sudah jauh lebih membaik
sekarang, dibandingkan dua atau tiga bulan lalu. Jauh lebih baik daripada di
awal waktu lalu. Jujur di dalam diri ini ada bagian yang memang merasa senang
bisa tinggal jauh dan sendiri, selain buat belajar mandiri, ya buat hidup dalam
bentuk yang memang diinginkan, yang ga penuh dengan batasan-batasan ketika di
rumah. Gitu, deh. Saya juga kadang geleng-geleng sendiri sama diri sendiri, kok
ya bisa segitu jahatnya. Kok ya memang kekanak-kanakkannya masih segitu
tingginya. Dan di akhir perenungan hanya mencoba membela diri, “Yakan emang
baru dua puluh tahun juga, dewasanya telat dikit daripada yang lain”. Yah dia
ngebela dirinya yang juga ga bener-bener amat. Pathetic.
Pada suatu momen, saya dibantu
disadarkan oleh orang sekitar saya, bahwa bukannya saya ga sempat ngabari papa
mama, bukan saya ga sempat tanya kabar mereka, bukan saya ga sempat pulang ke
Surabaya, tapi saya memang belum menyempatkan. Saya yakin mesti banyak hal-hal
tidak baik yang terjadi, orang tua saya ikhlas doain anaknya. Setiap hari kalau
mereka menghubungi saya, pasti didoakan yang baik-baik, pasti didoakan biar lancer
biar sehat terus biar dimudahkan, kok ya tega saya ga sempat melakukan hal yang
sama ke mereka? YaAllah, jahatnya saya. Beruntung saya punya teman baik yang
senantiasa mengingatkan, untuk terus mencoba menyempatkan berkabar.
Menyempatkan untuk telpon duluan sebelum mereka. Menyempatkan untuk cerita
lebih banyak daripada hanya memberikan informasi wajib sudah sampai kantor.
Menyempatkan untuk pulang sebelum mereka meminta. Dan yang pasti, selalu
menyempatkan menyelipkan nama mereka dalam doa. Mereka sudah tambah tua, Della.
Dan mereka yang selama ini selalu ada.
Bacaan ini mungkin terlihat sangat
jahat. Ada bagian dari diri saya yang terlalu sibuk untuk beradaptasi dengan
lingkungan baru sehingga dengan mudahnya melupakan mereka yang paling berjasa
dalam membantu saya mencapai lingkungan baru ini. Dan iya, saya harus mengakui
itu. Ini pun saya tulis, biar saya selalu ingat. Saat ini saya berusia dua
puluh tahun, dan dua puluh tahun penuh itu saya habiskan dengan hidup dekat
keluarga. Baru delapan bulan semenjak saya berulang tahun ke-20, dan ada enam
bulan pertama ini saya lupa menyempatkan diri untuk tetap dekat dengan mereka.
Sungguh saya beruntung, baru enam bulan ini terjadi dan saya dibantu disadarkan.
Tulisan ini memang harus ada, biar saya ingat betapa sakitnya ketika sibuk
dengan diri sendiri dan seolah-olah lupa dengan keluarga. Dan semoga, kamu di
luar sana tidak perlu menyakiti perasaan keluargamu seperti saya ini ya. Pun
jika ada, semoga ini mengingatkanmu bahwa dibalik susahnya bekerja dan
menggapai mimpi, rasanya akan kurang jika kamu lupa memasukkan keluargamu dalam
proses tersebut.
Maaf ya, ceritanya panjang,
berbelit-belit, dan jahat. Kalau kurang segan, biarlah ini jadi pengingat saya
saja. Biar cukup saya saja yang salah belum menyempatkan memberikan waktu
terbaik saya untuk kedua orang tua dan saudara saya. Semoga kamu tidak ya.
Semoga kita selalu dilindungi oleh Allah, dimudahkan urusannya, dan terus
diberikan cahaya dalam hatinya. Aamiin.
--
--
Adelia Budiarto
:)
Menurut saya pribadi, tulisan ini mewakili "keresahan" barisan pemuda pemudi yang saat ini jauh dari orang yang tersayang dan berusaha meraih mimpinya.
ReplyDeleteArti sebuah "komunikasi" yang tidak semua orang paham tentangnya.
Jadi benar kata orang,
Semakin bertambahnya usia, semakin sulit untuk menentukan sebuah prioritas.
Semoga kamu selalu terjaga dekat dengan orang yang kamu sayang. Goodluck!!!
Haha iya, aamiin. Semoga doa baiknya kembali ke kamu juga ya!
Delete