October 12, 2016

Cerita: Menjadi Duta Wisata Guk dan Yuk Sidoarjo 2015

Tepat setahun yang lalu, saya membaca informasi mengenai pemilihan duta wisata di Sidoarjo. Dan saat ini, saya dan teman-teman sedang bergerilya membagi informasi mengenai pemilihan Duta Wisata Guk dan Yuk Sidoarjo 2016. Betapa cepatnya waktu berlalu semakin tidak masuk akal. Ohya, kalau mau kepo-kepo dulu, gih buka instagram @gukyuksidoarjo ini.

--

Setiap daerah di Indonesia memiliki sepasang duta wisatanya yang berada di bawah wewenang Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di Kota/Kabupatennya dan Provinsinya. Saya, yang berdomisili di Kabupaten Sidoarjo dan ber-KTP Sidoarjo sempat tahun lalu iseng-iseng (iya, saya tidak punya kata yang lebih tepat dan jujur selain ini) mendaftar dan mengikuti serangkaian proses pemilihan duta wisata di Kabupaten Sidoarjo. Buat kalian yang belum tahu, Sidoarjo adalah sebuah daerah di selatan Kota Surabaya, dengan penduduk hampir dua juta jiwa, Sidoarjo juga merupakan daerah penyangga di Jawa Timur dengan perkembangannya berbagai potensi daerahnya.


Tidak, tulisan ini tidak akan bercerita tentang apa tugas duta wisata, bukan tentang bagaimana cara menjadi duta wisata, bukan tentang promosi wisata yang ada di Sidoarjo juga. Tulisan ini hanya sebuah curahan hati saya, bahwa hal yang tidak pernah kamu kira, jika kamu percaya dan mengusahakannya, kamu pasti bisa mendapatkannya. Paling tidak, kamu telah mengusahakannya.

Hampir dua setengah tahun di bangku kuliah kuhabiskan dengan fokus belajar, kegiatan himpunan, dan kompetisi akademik. Tidak pernah terbesit niatan saya untuk mengikuti kompetisi seperti ini. Semuanya dimulai karena kakak perempuan saya pada jamannya pernah mencoba mengikuti kompetisi ini dan karena ala kadarnya juga perrsiapannya, dia tidak bisa lolos tahap selanjutnya. Sesimpel dia mengingatkan saya “Dek, kalau ga salah bulan-bulan ini deh dulu ada seleksi Guk Yuk”. Dan saya juga sesimpel itu menjawab iya dan coba mencari informasinya di instagram dan twitter. Syaratnya simpel, domisili asli Sidoarjo, berpenampilan menarik, tinggi dan berat badan proporsional, dan berwawasan luas. Oke, berpenampilan menarik bisa lah ya. Tinggi dan berat badan ga parah-parah banget lah ya. Berwawasan luas, ya lumayan lah ya. Namun, jujur, saya lack of ideas tentang wisata di Sidoarjo.

Loh katanya domisili di sana?
Iya. Iya. Namun dari sekolah dasar sampai kuliah, sekolah saya di Surabaya terus. Di tengah kota Surabaya sana. Pertemanan saya isinya anak Surabaya semua. Jalan-jalan yang saya hafal ya Surabaya aja. Apalagi objek wisatanya. Aduh.
Namun pikirku, itu bisa lah ya dipelajari. Masih ada Google.

Singkat cerita aku memenuhi segala persyaratan pendaftaran dan mengumpulkan berkasnya. Semua masih aman. Sehari sebelum tes tahap pertama, ada technical meeting untuk peserta seleksi. Bahkan untuk TM-nya saja saya tidak bisa dating karena ada kuliah di Jumat siang. Esok harinya, saat hari pertama tes seleksi, saya menuju ke lokasi seleksi saja terus-terusan mantengin Google Maps. Saya buta akan jalan di Sidoarjo. Beneran deh. Tes tulis, saya jawab sebisanya mengenai pengetahuan wisata di Sidoarjo berbekalkan ingatan hasil browsing saya. Untung banyak soal-soal yang menguji Bahasa Inggris, sangat amat membantu. Tes wawancara berjalan cukup baik-baik saja. Wawancara kepribadian, organisasi, Bahasa Inggris, aman. Wawancara mengenai wisata, lagi-lagi, apa adanya.

Selang seminggu, ternyata nama saya tertera di koran bahwa saya lolos 20 besar. Baiklah, ayo diperjuangkan. Tes tahap dua yang berselang seminggu adalah tes bakat, presentasi ide untuk memajukan wisata lokal, dan interview, lagi. Saya dulu penari tradisional. Dulu. Jaman TK sampai SMP. Jaman SD kerjaan saya tiap minggu latihan nari, dan berjejer-jejer piala lomba tari tradisional. Namun, semenjak stress SMA dan kuliah, boro-boro kepikiran nari. Jadi ya, saya manfaatkan bakat yang sudah kembali terpendam itu dengan latihan cukup intens tiga hari sebelum tes. Latihan intens macam apa cuma tiga hari. Saya mengontak guru tari saya jaman dahulu, dan beberapa hari itu, setiap sore pulang kuliah, saya belajar lagi satu tarian tradisional asli Sidoarjo yang baru buat saya.

Singkat cerita, tes tahap dua berjalan cukup lancer. Juri nampak puas dengan tarian saya, sehingga saya full harus menari sampai waktu habis. Padahal, beberapa semifinalis lain diberhentikan ditengah-tengah unjuk bakat dan diminta menunjukkan bakat lain. Untung saya tidak kena, bakat apalagi yang mau saya tunjukkan. Bisa-bisa saya malah pidato kesetaraan gender. Seleksi tahap dua cukup melelahkan. Setelah proses penilaian, saya lolos menjadi finalis sepuluh besar. Baiklah, bukan waktunya bermain-main lagi.

Ini merupakan kesempatan yang amat bagi saya. Wajah-wajah asing yang saya sama sekali tidak ada yang kenal. Padahal setiap dari peserta lain ada saja kenal, teman SD, SMP, atau SMA lah. Nah saya, tidak kenal siapa-siapa. Segala hal-hal baru, pakai heels minimal 10 cm, pakai bulu mata, jujur, geli banget. Bahkan kalau saya bisa mengamandemen peraturan paguyuban, saya mau menanggalkan kewajiban memakai bulu mata. Tolong.

Dengan kesempatan menjadi finalis, saya harus mengikuti karantina dan deretan kegiatan sebelum malam final. Dalam waktu satu minggu segala kegiatan pra-final, itu adalah jadwal Ujian Tengah Semester 5 saya di kampus. Semester lima itu cukup menegangkan. Sangat bahkan. Full 24 sks dengan mata kuliah yang bukan main-main sama sekali. Delapan mata kuliah. Semuanya 3 sks. Dan saya tidak ingin nilai saya turun, atau bahkan tidak bisa ujian, karena bentrok dengan kegiatan ini.

Dengan segala teknik negosiasi dan merasionalkan pola pikir panitia, selama karantina, saya hampir lima kali meninggalkan sesi karena ujian. Saya dikarantina di Sidoarjo kota, saya ujian di kampus di tengah Surabaya. Ada 40 km. Kurang lebih 1,5 jam untuk mencapainya. Hari-hari karantina itu masuk kategori hari-hari terlelah dalam hidup saya. Sekitar lima hari, saya harus pagi-pagi siap dengan segala dresscode lengkap dengan full make-up dan bulu matanya. Disclaimer, pada saat itu make-up kit saya mentok cuma pelembab, bedak, lipstick, mascara. Dan setiap pagi harus full make-up dan heels 10 cm itu, membunuh. Belum segala tugas, hafalan tarian, dan tata acara untuk mempersiapkan malam final. Belum harus belajar untuk UTS. Belum kesana kemari mengejar jadwal UTS dan juga harus kembali ke karantina. Belum drama dalam proses karantina. Sungguh, saya lelah sekali saat itu. Setiap hari hanya tidur tiga jam. Saya saja sampai lelah kalau disuruh mengeluh.

Tapi ya, hari-hari mengerikan itu juga berlalu. Sampai di hari Final Seleksi Duta Wisata Guk dan Yuk Sidoarjo 2015, tanggal 30 Oktober 2015. Saya ya, bahkan paginya saat gladi resik, telat 2 jam, karena harus ujian Akuntansi Perpajakan dulu di kampus. Luar biasa ngawurnya saya. Jadi bulan-bulanan panitia karena saya cabutan sudah tidak saya pedulikan. Karena ya, prinsip saya kuliah masih nomer satu. Tidak mungkin saya tinggalkan UTS saya.

Malam itu, saya sudah didandani dengan baju adat khas Sidoarjo. Saya sudah terus-terusan menggandeng pasangan saya. Saya sudah diarak keliling Sidoarjo. Saya sudah siap menyelesaikan proses ini. Saya sempat terdiam dan berpikir, saya yang awalnya tidak ada niatan sama sekali, saya mempersiapkan ala kadarnya, namun dengan usaha dan keberuntungan, saya ternyata sampai di posisi ini. Sampai sini saja cukup, pikirku. Saking lelahnya. Namun ya, itu bukan Della. Lagipula, dengan saya berada menjadi salah satu finalis, mungkin saja di luar sana ada beberapa orang yang mengharapkan posisi yang saya miliki sekarang. Ya masak direlakan begitu saja?

Seluruh finalis yang lain dan segenap panitia adalah teman dan keluarga pertama saya di Sidoarjo ini. Saya yang benar-benar baru untuk mereka, dan mereka yang amat sangat baru untuk saya, telah menjadi bagian dari proses hidup saya. Malam itu, dengan usaha dan doa, saya ini, Yuk Della, yang ke Pendopo Delta Wibawa saja baru pertama kali ya saat final ini, ternyata saya diberikan kesempatan menjadi Wakil 1 Yuk Sidoarjo 2015. Simpelnya, saya juara dua untuk duta wisata yang perempuan. Alhamdulillah.

Meskipun saya awalnya hanya iseng. Namun, saya punya niat baik. Saya setiap hari juga bangun dan tidur di Sidoarjo ini. Paling tidak, ya tanah, air, dan udara Sidoarjo yang setiap hari saya rasakan manfaatnya. Masak saya yang sudah memanfaatkannya 18 tahun ini, tidak berkontribusi apa-apa? Ya mungkin ini jalan saya. Untuk menjadi salah satu duta wisata. Ini juga memaksa saya untuk lebih mengenal lingkungan saya sendiri, apa salahnya punya banyak teman baru? Tidak ada, banyak manfaatnya iya. Saya bersyukur, dari proses ini, saya belajar banyak. Saya belajar bahwa memang usaha tidak akan mengkhianati.

Kalian di luar sana, regardless topik saya yang jadi duta wisata, apapun target yang memang kamu tuliskan, kalau kamu benar-benar percaya dan mau mengusahakannya sungguh-sungguh, pasti ada jalannya. Kalau memang belum, mungkin doanya harus ditambah. Cuma satu hal yang biasa menggagalkan kita, yaitu ketakutan untuk gagal. Coba dulu, kalau gagal, coba lagi. Kalau memang tetap gagal, coba yang lain. Tidak ada sukses yang dating tiba-tiba juga. Semuanya butuh usaha, dan doa.

Jadi ya kawan, semangat terus dalam mengusahakan mimpi-mimpinya. Jangan mau kalah sama tantangan. Jangan patah semangat sebelum berjuang. Hal-hal baik layak diperjuangkan. Be all in or get all out, there is no halfway. Semangat! 

p.s. Here some memories remains.




--
Adelia Budiarto
SHARE:

No comments

Post a Comment

Blogger Template Created by pipdig