November 11, 2015

Belajar: Menggunakan Hati

Kemarin, dalam sebuah perbinacangan sederhana dengan teman saya, sambil bercanda dia  mengatakan bahwa suatu hal yang benar itu relatif, dan salah adalah mutlak. Kalimat itu tidak bisa begitu saja masuk telinga saya dan langsung keluar, kalimat itu berhenti di pikiran saya dan memaksa saya berpikir. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapatnya, bagi saya benar dan salah iti sama-sama relatifnya. Relatif atau tidaknya bergantung pada bagaimana perspektif seseorang melihat sebuah kejadian.

Memukul  seseorang yang sedang berjalan dihadapanmu adalah hal yang jelas-jelas salah, namun jika kamu memukul seseorang untuk pembelaan diri, hal itu merupakan hal yang mungkin saja dianggap benar. Hal ini dibenarkan oleh hukum di Indonesia dalam KUHP yang mengatakan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum, maka tidak dipidana”.  Ini juga dibenarkan dalam kepercayaan saya, dalam agama saya, bahwa orang yang merasa bahwa kehormatan, harta, dan dirinya dalam bahaya, ia berhak melakukan pembelaan. Begitupun, ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi tersebut, maka ia pun berhak melakukan pembelan terhadapnya. Namun, pembelaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan kadar bahaya yang dihadapinya, jangan melewati batas. Hal ini tertulis dalam surat Al-Baqoroh ayat 194 bahwa “Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa”. Maka, benar atau salah harus dilihat darimana sudut pandang hal tersebut dilakukan.

Lalu saya berpikir kembali, bagaimana saya bisa menentukan kegiatan yang saya lakukan ini benar atau salah. Sedikit banyak saya membaca, memprosesnya, dan mencari jawabannya, lalu saya sampai pada sebuah kalimat yang kurang lebih isinya, ‘Kamu bisa menentukan apakah yang kamu lakukan itu benar atau tidak dengan merasakan apakah hatimu tenang atau tidak ketika melakukannya’. Dijelaskan bahwa, ketika kamu melakukan sesuatu hal yang benar maka hatimu akan tenang setelah melakukannya. Dan jika setelah kamu melakukan suatu hal lalu hatimu merasa tidak tenang, cemas, dan gelisah, meskipun teman atau orang di sekitarmu membenarkan hal tersebut, maka bisa jadi itu merupakan hal yang salah. Sebuah perumpamaan sederhana, jika misal kamu sedang menonton film di bioskop dengan teman-temanmu dan adzan maghrib berkumandang, lalu teman-temanmu yang lain membela diri dengan “Sudah nanti saja sholatnya, kan sedang nonton film gabisa ditinggal-tinggal”, ya tidak sepenuhnya salah karena kamu bisa saja sholat setelah film itu selesai, namun di sisi lain kamu tahu bahwa waktu maghrib sangat sempit, dan ya mungkin ada sebagian dari kamu yang hatinya pun tidak tenang jika mengikuti kata-kata temanmu yang membenarkan diri. Maka, benar atau salahnya "sholat maghrib nanti saja" ya kembali pada diri kalian masing-masing. Semua kerelatifan tersebut masih dapat diukur dengan rasionalitas dan pemikiran yang logis, dibarengi dengan mengukur ketenangan hati.

Lalu, saya tetap terus bertanya-tanya, jika saya terlanjur melakukan hal yang membuat hati gelisah, lalu saya harus bagaimana mengatasinya. Sedikit banyak dari yang saya baca dan saya dengar dalam pencarian jawaban ini, ada beberapa hal yang bisa saya ambil, yakni

Perbanyak istighfar. Saya juga sering melakukan kesalahan, ya, jelas saya sadar akan hal ini. Dan salah satu cara pertama saya yang juga dilakukan semua orang ketika melakukan kesalahan adalah istighfar. Perbanyaklah istighfar untuk membantu menenangkan diri.

Banyak membaca Al-Quran dan datangi orang-orang yang membaca Al-Quran. Mengaji memang membawa ketenangan, sembari melantunkan ayat-ayat suci dan juga mempelajari islam lebih dalam. Dan ikut mendatangi perkumpulan orang-orang yang sedang mengaji, mendatangi majelis-majelis, dan berkumpul dengan orang-orang yang baik sembari belajar lebih banyak dari mereka, merupakan salah satu hal yang bisa dilakukan, untuk berbagi, bertanya, ataupun mendapat pengakuan atas apa-apa yang telah dilakukan.

Berkhalwat dengan Allah. Berdua-duaan dengan Allah adalah cara yang personally suitable untuk saya, dimana saya bisa mencurahkan segalanya pada-Nya, berdoa, meminta ampun, dan semuanya kamu ceritakan pada-Nya mengenai apa-apa yang telah saya lakukan. Berdua-duaan terbaik hanyalah dengan Allah.

Selain tiga hal di atas, sebenarnya banyak sekali amalan yang dapat dilakukan, karena sesungguhnya segala amalan baik akan membantu saya, dan mungkin juga kamu, untuk menjadi lebih sabar, lebih tenang, menjaga amarah, dan berpikiran positif. Siapapun kita, laki-laki ataupun perempuan, rasanya wajib menggunakan otaknya dan hatinya untuk merasakan apakah benar atau salah hal yang kamu lakukan. Ukurlah dengan ketenangan hatimu, dan tetap gunakan otak dan pikiranmu yang sehat untuk merasionalkan hal tersebut.

SHARE:

2 comments

  1. saya tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang dituliskan disini, apakah hati benar-benar parameter tunggal mengukur benar/salah sebuah perbuatan...tentunya tidak juga, dan anda juga menyampaikan 'merasionalkan' dengan pikiran di akhir tulisan. bagaimana menentukan benar/salah apabila seseorang mengalami disorientasi? misalnya ia dibesarkan di lingkungan yang buruk. saya rasa ketiga poin yang disampaikan begitu menerima saja tanpa adanya pencarian hakiki. saya berpendapat benar/salah merupakan sebuah pencarian.
    how are you, by the way ? :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Woah, good points! Maaf kalau masih terlalu blurry, masih banyak yang harus saya baca dan saya diskusikan mengenai hal ini, akan saya proses dulu yaaah, and you may reach me on email should we have further talk. Makasih yaaah insightnya!

      Delete

Blogger Template Created by pipdig