July 1, 2016

Cerita: Menjadi Volunteer 1000 Guru Surabaya

Kali ini saya ingin berbagi cerita ketika bersama teman-teman menjadi relawan dalam kegiatan 1000 Guru Surabaya bulan Mei lalu. Seribu Guru saat ini merupakan sebuah wadah untuk melakukan aksi sosial nyata dengan turun langsung membantu pendidikan anak-anak di pedalaman. Kegiatan yang saya ikuti namanya Travelling and Teaching, jadi kami sebagai volunteer akan menjadi “guru” di sebuah sekolah di pedalaman sambil jalan-jalan. Kenapa kok harus sambil jalan-jalan? Hahaha jadi katanya sih dulu penggagas komunitas 1000 Guru ini merupakan kumpulan orang-orang yang suka travelling, mereka naik gunung, main di pantai, jalan-jalan ke pelosok Indonesia, sampai mereka mencapai sebuah titik kalau jalan-jalan ini seharusnya bisa lebih bermanfaat, dan akhirnya memutuskan bahwa “mengajar” anak-anak di sekitar tempat tujuan perjalanan mereka adalah jawabannya. Jauh sebelum sekarang, 1000 Guru adalah sebuah akun inspirasi di media sosial twitter untuk berbagi informasi mengenai pendidikan di pedalaman dan perbatasan negeri sampai akhirnya sekarang komunitasnya tersebar di 35 regional di Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Buka link ini untuk informasi selengkapnya.


Sebelum mengikuti kegiatan Travelling and Teaching #9 Spesial Hari Pendidikan Nasional bersama 1000 Guru Surabaya, saya dan teman-teman relawan lainnya mengikuti sebuah open recruitment terlebih dahulu. Komunitas ini selalu membuka oprec terbuka bagi siapapun yang ingin dan merasa mampu untuk bergabung menjadi relawan pengajar atau foto/videographer selama kegiatan. Informasi mengenai oprec ini bisa dilihat dari media sosial instragram @1000_guru_sby, jika ada informasi oprec kegiatan, kalian akan diarahkan untuk mengisi online form dan selanjutnya akan di-wawancarai. Syarat menjadi volunteer intinya adalah ingin mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk tergabung, selain itu ada syarat lainnya seperti sehat fisik dan mental, karena kegiatan ini benar-benar ada di pelosok dimana jalan kaki kesana-sini adalah wajib, dan juga bersedia membayar sejumlah dana untuk keperluan selama kegiatan seperti akomodasi, transportasi, makanan, kaos, dan merchandise lainnya. Jumlah volunteer yang diterima setiap kegiatan berbeda-beda, tergantung kapasitas sekolah dan jumlah siswa yang akan dituju juga, kalau saya kemarin sih bersebelas dengan tiga panitia dan satu fotografer.

Malam hari tanggal 6 Mei 2016, kami semua berkumpul di meeting point di Surabaya untuk berangkat menuju lokasi di Desa Tukul, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo menggunakan truk TNI. Untuk ukuran mahasiswa di Surabaya yang biasa menjadi peserta atau panitia acara bersama-sama seperti kegiatan orientasi yang harus keluar kota, truk TNI adalah sahabat kami hahaha. Perjalanan empat-sampai lima jam dan akhirnya kami sampai tengah malam, lengkap dengan segala bawaan sampai kompor, gas, galon air, tiang bendera, kami turunkan dari truk ke sebuah rumah warga yang digunakan sebagai basecamp kami. Sebuah rumah sederhana di pegunungan, dengan kamar mandi dadakan bersebelahan dengan kandang sapi, dengan kompor yang masih menggunakan kayu bakar, yang akan menjadi tempat istirahat kami dua hari kedepan. Semua sih aman selama masih ada listrik dan stop kontak, dan menjadi tidak aman ketika sinyal hilang huahahaha. Dan satu hal yang paling aneh dan membuat saya sedikit rishi adalah, banyak sekali anjing bekeliaran di sekitar rumah. Kalau biasanya di Surabaya yang berkeliaran situ kucing, tapi ini anjing dimana-mana, menggonggong sepanjang hari. Kalau kata penduduk sini, anjing ini lah yang menjadi ‘satpam’ mereka, anjing ini yang menjaga mereka dari penjahat, pencuri, dan lainnya. Sejujurnya ini yang membuat saya risih karena takut huahaha dan juga takut terkena najis, namun yasudah, we need to deal it tho.

Selama disana, kami mandi seadanya, kami makan seadanya, kami harus bersusah payah memasak nasi dan lauk pauknya menggunakan kayu bakar karena kompor gas kami gagal difungsikan, kami harus berjalan kaki naik turun gunung melewati trekking yang curam dan basah karena ya memang jarak terdekat dari rumah menuju sekolah tujuan kami dua kilometer dengan jalanan yang benar-benar naik turun yang tidak saya bayangkan, dan banyak hal baru yang tidak biasa kami lakukan dan kami dipaksa untuk berdamai dengannya. Tapi, semua warga dan adik-adik di sini bisa melewati hal-hal tak biasa ini setiap hari, kenapa kami tidak? Dan, semua usaha kami rasanya terbayar ketika melihat adik-adik kami di SD Tukul 3 akhirnya bisa merasakan upacara bendera untuk pertama kali menggunakan tiang bendera yang kami bawa dari Surabaya, melihat adik-adik tertawa senang bisa bertemu dengan kakak-kakaknya dari luar kota, melihat adik-adik berebut angkat tangan ketika kami melempar pertanyaan ataupun candaan, melihat adik-adik belajar hal-hal yang baru bagi mereka, dan ketika mendengar sebuah kalimat dari mereka “Kak, terima kasih ya sudah datang hari ini, besok Kakak datang lagi, kan?”

Kalimat itu yang didengar masing-masing dari kami dari beberapa siswa yang kami temui hari ini. Dan saya melihat bagaimana raut wajah teman-teman saya menahan tangis kalau ternyata kami hanya bisa membantu cuma segini saja, hanya sehari dua hari. Tidak lebih. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana seisi kelas terdiam dan bingung ketika saya menunjukkan foto Ir. Soekarno, Ibu Kartini, apalagi Einstein. Saya dan kedua teman saya bertanggung jawab untuk mengajar siswa kelas lima yang satu kelasnya hanya berjumlah sebelas orang, kami diminta membawakan materi sejarah mengenai pahlawan Indonesia. Dan ya, mereka ber-sebelas bisa menghitung, bisa membaca, namun pengetahuan mereka mengenai Indonesia sangatlah minim. Kalau adik-adik di pedalaman Probolinggo saja tidak tahu siapa presiden pertamanya, bagaimana adik-adik di pedalaman Papua sana? Di perbatasan Kalimantan-Malaysia sana?

Hal ini membuat saya sangat sedih dan kecewa. Kecewa terhadap ketidak-adilan dan tidak meratanya pendidikan di Indonesia? Mungkin iya, dan pastinya kecewa terhadap diri saya sendiri yang baru bisa membantu sedikit sekali, baru bisa bercerita sedikit sekali sejarah Indonesia yang saat bangku SD kuhafal dengan mudah kepada adik-adik di sini. Masih banyak yang bisa kami ceritakan, masih banyak yang bisa kami bagi, masih banyak siswa yang bisa kami bantu. Namun, kami belum bisa merealisasikannya. 

Kegiatan ini lebih dari sekedar mengajar, membagi kebahagiaan, dan jalan-jalan. Ini semua tentang sebuah perjalanan untuk keluar dari zona nyaman. Sebuah perjalanan tentang menghargai pertemuan, pertemanan, dan kekeluargaan. Sebuah perjalanan demi sebuah niat baik untuk peduli terhadap pendidikan pedalaman. Sebuah perjalanan untuk semakin menghargai kekayaan dan pesona alam. Sebuah perjalanan yang mengajarkan kami untuk terus bersyukur kepada-Nya, Sang Pencipta, dan terus berbagi ilmu, materi, semangat, dan kebahagiaan untuk mereka yang membutuhkan.

Sungguh tidak ada penyesalan bagi saya memutuskan mengikuti kegiatan ini, merelakan akhir pekan saya yang seharusnya bisa digunakan untuk istirahat, mengerjakan tugas, atau bersenang-senang untuk bersama-sama bersenang-senang dengan cara kami sendiri melalui kegiatan ini. Terima kasih banyak keluarga baru saya di kegiatan ini, ibu bapak yang kami singgahi rumahnya, dan juga adik-adik kecilku di pedalaman sana yang penuh bersemangat untuk terus belajar menggapai impiannya. Terima kasih sudah membuat saya untuk terus belajar bersyukur, terima kasih sudah menjadi bagian dari wadah saya untuk berproses.

Salam peduli pendidikan pedalaman!



--
Adelia Budiarto.
SHARE:

No comments

Post a Comment

Blogger Template Created by pipdig